Sejarah Perancis sebagai kota islam
Islam
adalah agama yang damai, universal, dan rahmat bagi seluruh alam.
Karena dasar itu, agama Islam pun dapat diterima dengan baik di berbagai
belahan muka bumi ini. Mulai dari jazirah Arabia, Asia, Afrika,
Amerika, hingga Eropa.
Pada abad ke-20, Islam berkembang dengan sangat pesat di daratan Eropa. Perlahan-lahan, masyarakat di benua biru yang mayoritas beragama Kristen dan Katholikini mulai menerima kehadiran Islam. Tak heran bila kemudian Islam menjadi salah satuagama yang mendapat perhatian serius dari masyarakat Eropa.
Pada abad ke-20, Islam berkembang dengan sangat pesat di daratan Eropa. Perlahan-lahan, masyarakat di benua biru yang mayoritas beragama Kristen dan Katholikini mulai menerima kehadiran Islam. Tak heran bila kemudian Islam menjadi salah satuagama yang mendapat perhatian serius dari masyarakat Eropa.
Di
Prancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M.
Bahkan, pada tahun 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah
bernama Masjid Raya Yusuf di ibu kota Prancis, Paris. Hingga kini, lebih
dari 10ncis00 masjid berdiri di seantero Prancis.
Di
negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari negeri Maghribi,
seperti Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania, dan lainnya. Sekitar tahun
1960-an, ribuan buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke
daratan Eropa, terutama di Prancis.
Saat
ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh juta jiwa.
Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam
terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta
jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa.
Peran
buruh migran asal Afrika dan sebagian Asia itu membuat agama Islam
berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan komunitas atau
organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan-lahan, penduduk
Prancis pun makin banyak yang memeluk Islam.
Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Prancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat.
Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Prancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat.
Tak
hanya itu, pintu keimigrasian bagi buruh-buruh yang beragama Islam pun
makin dipersempit, bahkan ditutup. Meski demikian, masyarakat Arab yang
ingin berpindah ke Prancis tetap meningkat. Pintu ke arah sana semakin
terbuka.
Pelajar Muslim
Pada
tahun 1970-an, imigran Muslim kembali mendatangi negara pencetus trias
politica itu. Kali ini, para pelajar Muslim yang datang ke Prancis untuk
menuntut ilmu. Kedatangan para pelajar ini menjadi faktor penting yang
mengambil peran besar dan penting dalam mendorong penyebaran Islam dan
berkehidupan Islam di jantung negeri Napoleon Bonaparte ini.
Tahun 1985, diselenggarakan konferensi besar Islam yang dibiayai Rabithah Alam Islami (Organisasi Islam Dunia). Turut serta dalam konferensi itu 141 negara Islam dengan keputusan mendirikan Federasi Muslim Prancis.
Tahun 1985, diselenggarakan konferensi besar Islam yang dibiayai Rabithah Alam Islami (Organisasi Islam Dunia). Turut serta dalam konferensi itu 141 negara Islam dengan keputusan mendirikan Federasi Muslim Prancis.
Peristiwa
besar ini tidak luput dari perhatian dunia, mengingat kehadiran umat
Islam di salah satu negara Eropa selalu menjadi dilema bagi para
penguasa setempat, terutama yang menyangkut ketenagakerjaan (buruh) dan
masalah sosial.
Hasil
konferensi dan terbentuknya federasi Muslim itu berhasil mempersatukan
sebanyak 540 buah organisasi Islam di seluruh Prancis dan melindungi
1600 buah masjid, lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan gedung-gedung
milik umat Islam.
Dengan
kondisi ini, barisan (saf) umat Islam pun semakin kokoh. Yang lebih
menggembirakan lagi, kebanyakan anggota federasi yang menjalankan roda
organisasi justru berasal dari kaum muda-mudi Muslim berkebangsaan
Prancis sendiri.
Federasi
ini bertujuan berperan aktif dalam menyukseskan kegiatan keislaman di
Prancis dan memberikan pengetahuan dan pendidikan tentang Islam kepada
warga Prancis.
Lembaga ini berperan besar dalam menjembatani umat Islam Prancis dengan pemerintah setempat, terutama dalam menyuarakan kepentingan umat Islam.
Lembaga ini berperan besar dalam menjembatani umat Islam Prancis dengan pemerintah setempat, terutama dalam menyuarakan kepentingan umat Islam.
”Dengan
kesepakatan ini, umat Islam punya hak yang sama dengan umat Katholik,
Yahudi, dan Protestan,” kata seorang menteri di pemerintahan, Nicolas
Sarkozy.
Organisasi
itu merupakan gabungan dari tiga organisasi besar Islam di Prancis,
yakni Masjid Paris, Federasi Nasional Muslim, dan Persatuan Organisasi
Islam Prancis.
Pelarangan Jilbab
Pelarangan Jilbab
Prancis,
yang juga terkenal sebagai negara mode ini, pernah melarang Muslimah
menggunakan jilbab sekitar tahun 1989. Pelajar Muslimah dikeluarkan dari
kelas karena memakai jilbab, pekerja Muslimah dipecat dari kantornya
karena mengenakan jilbab. Namun, mereka tidak menyerah begitu saja. Umat
Islam Prancis menggoyang Paris dengan aksi-aksi demo menuntut
kebebasan. Dan, umat Islam di berbagai negara pun turut melakukan protes
atas kebijakan tersebut.
Akhirnya,
pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan pada 2 November 1992 yang
memperbolehkan para siswi Muslimah untuk mengenakan jilbab di
sekolah-sekolah negeri.
Sekarang, tampilnya wanita-wanita berjilbab di Prancis menjadi satu fenomena keislaman yang sangat kuat di negeri tersebut. Mereka bukan hanya hadir di masjid-masjid atau pusat-pusat keagamaan Islam lainnya, melainkan juga di sekolah-sekolah negeri, perguruan tinggi negeri, dan tempat-tempat umum lainnya.
Sekarang, tampilnya wanita-wanita berjilbab di Prancis menjadi satu fenomena keislaman yang sangat kuat di negeri tersebut. Mereka bukan hanya hadir di masjid-masjid atau pusat-pusat keagamaan Islam lainnya, melainkan juga di sekolah-sekolah negeri, perguruan tinggi negeri, dan tempat-tempat umum lainnya.
Banyak
hal yang memengaruhi perkembangan Islam di Perancis. Salah satunya
adalah Perang Teluk 1991 yang menyebabkan munculnya krisis identitas di
kalangan anak muda Muslim di Prancis. Kondisi ini mendorong mereka lebih
rajin datang ke masjid. Gerakan Intifada di Palestina juga mendorong
makin banyaknya Muslim Perancis yang beribadah ke masjid.
Umat Islam di Prancis memiliki peranan yang sangat penting. Mereka memainkan peranan dalam semua sektor. Mulai dari pendidikan, lembaga keuangan, pemerintahan, olahraga, sosial, dan lainnya.
Umat Islam di Prancis memiliki peranan yang sangat penting. Mereka memainkan peranan dalam semua sektor. Mulai dari pendidikan, lembaga keuangan, pemerintahan, olahraga, sosial, dan lainnya.
Bahkan,
pada Perang Dunia I dan II, umat Islam di Eropa tercatat turut
menentang pendudukan Nazi. Keikutsertaan umat Islam dalam menentang
pendudukan Nazi menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan
kemerdekaan Prancis.
Masjid dan Sekolah Islam Meningkat
Seiring dengan berkembangannya agama Islam di negara Prancis, jumlah sarana ibadah dan kegiatan keislaman pun semakin meningkat.
Menurut survei yang dilakukan kelompok Muslim Prancis, sampai tahun 2003, jumlah masjid di seantero Prancis mencapai 1.554 buah. Mulai dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang dimiliki oleh warga Muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.
Perkembangan Islam dan masjid di Prancis juga ditulis oleh seorang wartawan Prancis yang juga pakar tentang Islam, Xavier Ternisien. Dalam buku terbarunya, Ternisien menulis, di kawasan Saint Denis, sebelah utara Prancis, terdapat kurang lebih 97 masjid, sementara di selatan Prancis sebanyak 73 masjid.
Ternisien menambahkan, masjid-masjid yang banyak berdiri di Prancis dengan kubah-kubahnya yang khas menunjukkan bahwa Islam kini makin mengemuka di negara itu. Islam di Prancis bukan lagi agama yang di masa lalu bergerak secara diam-diam.
”Masjid-masjid yang ada di Prancis kini bahkan dibangun atas tanah milik warga Muslim sendiri, bukan lagi di tempat sewaan seperti pada masa lalu,” ujarnya.
Tampaknya, pada tahun-tahun mendatang, jumlah masjid akan makin bertambah di Prancis. Sejumlah masjid yang ada sekarang terkadang tidak bisa menampung semua jamaah. Masjid di kawasan Belle Ville dan Barbes, misalnya, sebagian jamaah terpaksa harus shalat sampai ke pinggiran jalan.
Awalnya, masjid-masjid yang ada di Prancis didirikan oleh orang-orang Muslim asal Pakistan yang bekerja di pabrik-pabrik di Paris, Prancis. Mereka mengubah ruangan kecil tempat makan siang atau berganti pakaian menjadi ruangan untuk shalat. Terkadang, mereka menggunakan ruangan di asramanya sebagai sarana ibadah. Sehingga, hal itu terus berkembang dan menyebar.
Perkembangan yang terus meningkat itu membuat sebagian masyarakat Prancis khawatir. Masjid-masjid yang ada sering menjadi sasaran serangan yang berbau rasisme. Masa suram masjid di Prancis terjadi pada tahun 2001. Sejumlah masjid menjadi sasaran serangan dengan menggunakan bom molotov. Bahkan, ada masjid yang dibakar. Bentuk serangan lainnya adalah menggambari dinding-dinding masjid dan dinding rumah imam-imam masjid dengan lambang swastika. Namun, sejauh ini, belum ada organisasi hak asasi manusia atau asosiasi Muslim yang mempersoalkan serangan-serangan itu.
Sekolah Tak hanya masjid yang tumbuh, lembaga pendidikan Islam di negeri mode ini pun turut berkembang. Sejumlah sekolah Islam berdiri di Prancis. Sampai kini, sedikitnya ada empat sekolah Muslim swasta.
Academy of Lyon, badan pendidikan negara yang tertinggi di kota itu, menolak izin operasional sekolah itu dan menutup sekolah dengan alasan pihak sekolah tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun, Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan itu pada Februari tahun lalu. Ini berarti sekolah Al-Kindi bisa membuka ajaran baru pada Maret 2007.
Menurut para pemimpin Muslim Prancis, insiden di Al-Kindi justru mendorong masyarakat Muslim untuk membuka sekolah serupa. ”Kontroversi Al-Kindi mendobrak ketakutan di minoritas Muslim untuk memiliki sekolah lebih banyak,” ujar Lhaj Thami Breze, ketua Organisasi Persatuan Islam di Prancis, UOIF.
Seiring dengan berkembangannya agama Islam di negara Prancis, jumlah sarana ibadah dan kegiatan keislaman pun semakin meningkat.
Menurut survei yang dilakukan kelompok Muslim Prancis, sampai tahun 2003, jumlah masjid di seantero Prancis mencapai 1.554 buah. Mulai dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang dimiliki oleh warga Muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.
Perkembangan Islam dan masjid di Prancis juga ditulis oleh seorang wartawan Prancis yang juga pakar tentang Islam, Xavier Ternisien. Dalam buku terbarunya, Ternisien menulis, di kawasan Saint Denis, sebelah utara Prancis, terdapat kurang lebih 97 masjid, sementara di selatan Prancis sebanyak 73 masjid.
Ternisien menambahkan, masjid-masjid yang banyak berdiri di Prancis dengan kubah-kubahnya yang khas menunjukkan bahwa Islam kini makin mengemuka di negara itu. Islam di Prancis bukan lagi agama yang di masa lalu bergerak secara diam-diam.
”Masjid-masjid yang ada di Prancis kini bahkan dibangun atas tanah milik warga Muslim sendiri, bukan lagi di tempat sewaan seperti pada masa lalu,” ujarnya.
Tampaknya, pada tahun-tahun mendatang, jumlah masjid akan makin bertambah di Prancis. Sejumlah masjid yang ada sekarang terkadang tidak bisa menampung semua jamaah. Masjid di kawasan Belle Ville dan Barbes, misalnya, sebagian jamaah terpaksa harus shalat sampai ke pinggiran jalan.
Awalnya, masjid-masjid yang ada di Prancis didirikan oleh orang-orang Muslim asal Pakistan yang bekerja di pabrik-pabrik di Paris, Prancis. Mereka mengubah ruangan kecil tempat makan siang atau berganti pakaian menjadi ruangan untuk shalat. Terkadang, mereka menggunakan ruangan di asramanya sebagai sarana ibadah. Sehingga, hal itu terus berkembang dan menyebar.
Perkembangan yang terus meningkat itu membuat sebagian masyarakat Prancis khawatir. Masjid-masjid yang ada sering menjadi sasaran serangan yang berbau rasisme. Masa suram masjid di Prancis terjadi pada tahun 2001. Sejumlah masjid menjadi sasaran serangan dengan menggunakan bom molotov. Bahkan, ada masjid yang dibakar. Bentuk serangan lainnya adalah menggambari dinding-dinding masjid dan dinding rumah imam-imam masjid dengan lambang swastika. Namun, sejauh ini, belum ada organisasi hak asasi manusia atau asosiasi Muslim yang mempersoalkan serangan-serangan itu.
Sekolah Tak hanya masjid yang tumbuh, lembaga pendidikan Islam di negeri mode ini pun turut berkembang. Sejumlah sekolah Islam berdiri di Prancis. Sampai kini, sedikitnya ada empat sekolah Muslim swasta.
Academy of Lyon, badan pendidikan negara yang tertinggi di kota itu, menolak izin operasional sekolah itu dan menutup sekolah dengan alasan pihak sekolah tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun, Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan itu pada Februari tahun lalu. Ini berarti sekolah Al-Kindi bisa membuka ajaran baru pada Maret 2007.
Menurut para pemimpin Muslim Prancis, insiden di Al-Kindi justru mendorong masyarakat Muslim untuk membuka sekolah serupa. ”Kontroversi Al-Kindi mendobrak ketakutan di minoritas Muslim untuk memiliki sekolah lebih banyak,” ujar Lhaj Thami Breze, ketua Organisasi Persatuan Islam di Prancis, UOIF.
sumber:http://haris1aja.wordpress.com/2010/04/10/sejarah-kota-perancis-sebagai-kota-muslim/
Read more: http://onde22.blogspot.com/2012/06/sejarah-perancis-sebagai-kota-islam.html#ixzz28CVz8p7A
No comments:
Post a Comment